Perempuan Tanpa V
Cerpen Rachma Nurjanah
Selama
ini, jika ada cinta yang datang padanya, Retno tak pernah melibatkan perasaan. Ia
tidak ingin kisah asmara mempengaruhi hidupnya. Tapi, akhir-akhir ini, ia
sangat ketakutan. Takut menghadapi kenyataan bila ia benar-benar jatuh cinta.
Ini bukan perkara gampang untuk dirampungkan.Retno
tidak sedang berhayal, akalnya saja menolak untuk memercayainya.
Ia
masih pura-pura terlelap ketika seseorang menciuminya, memeluknya bagai sebuah
boneka panda milik gadis remaja yang tak berdaya. Ingin rasanya Retno berontak. Tapi entah apa yang
menghalangi keberaniannya. Ia takut. Takut menghadapi perasaannya sendiri.
“Sudah
bangunkah,
Sayang?”
suara itu berbisik mesra di
telinga Retno.
Retno
diam saja. Hatinya bergemuruh. Malas menjawab. Ia sangat mengenal suara itu, suara Supri.
“Aku
bukan lelaki. Tetapi mengapa kau menciumiku? ini tak bisa kupercaya dengan
akalku sendiri,” batin Retno.
“Aku
yakin kau sudah bangun,”
ucap Supri
kemudian.
Pelukan
Supri kepada Retno semakin kuat. Mungkin ia kelewat rindu. Mungkin juga kelewat
nafsu. Retno tak mau tau. Ia malas menjawab.
“Sebenarnya,
sudah lama aku ingin mencekikmu, menjambakmu, menamparmu sekuat tenaga! Hah,
tapi kamu sudah tak waras, jadi buat apa? Buat apa aku meladeni orang gila
macam kamu, buang-buang waktu!” dalam hati Retno berkecamuk segala perasaan. “Sungguh,
aku ingin berubah. Aku tak mau perkara ini menjadi hal yang wajar. Tapi
bagaimana aku merubahnya? Bagaimana aku mengawalinya?” lanjutnya.
“Mengapa
kamu diam saja, Sayang? Pagi ini begitu indah, bukalah matamu. Lihatlah dari
balik jendela itu, fajar mengajakmu bicara. Enggankah kamu membalasnya?” Supri mengelus rambut Retno dengan ramah.
Retno
membayangkan,
jauh dibenaknya,
memutar otak, mencari-cari,
perihal seperti apa yang tepat untuk menyikapi masalahnya.
Tanpa
disadari, Retno nampak melamun dan membiarkan matanya terbuka.
“Ah,
jadi kamu
sebenarnya sudah bangun,”
desah Supri
meyakinkan dirinya kalau Retno
sudah bangun.
“Ya,”
“Ada
masalah apa,
Sayang? Kamu terlihat tak bersemangat.”
“Aku
mau mandi. Ada kuliah pagi,
jam tujuh,” kata Retno sembari bangkit dari tempat tidurnya tapi
tertahan oleh pelukan Supri.
“Eh,
tak mau cerita dulu?”
“Lepaskan
pelukanmu, aku mau bangun,”
“Kamu tidak sedang marah, kan?”
“Tidak,”
“Apa
aku semalam terlalu menyakitimu?”
“Tidak juga,”
“Lantas?”
“Tak
ada apa-apa,”
“Sungguh?”
“Ya.
Cepat lepaskan!”
“Tidak.
Aku masih kepingin memelukmu,”
“He!”
“Ah, kamu tambah manis kalau sedang marah,” rayu Supri.
Retno
melepas pelukan Supri dengan paksa. Ia mengambil handuk yang tergantung di
balik pintu kamarnya. Sambil berjalan, ia menyambar gayung beserta isinya;
odol, sikat gigi, sabun, sampo, pembersih muka, lulur, dan pelembab kulit yang
terletak di pojok kamarnya, dekat pintu keluar menuju kamar mandi.
***
Malam
seperti tidak bergerak. Aku terbujur di tengah pembaringan. Sprei bunga
berwarna merah jambu seakan membungkusku. Membantu melindungiku dari rasa sepi
dan sendiri. Aku sengaja tidak menghidupkan hand
phone, seperti biasanya. Pandangan mataku tertuju pada langit-langit kamar.
Warna birunya seakan menjadi latar beragam peristiwa yang terjadi dua tahun
terakhir ini. Apa yang sebenarnya aku cari? Menjalin hubungan dengan perempuan
yang tak jelas juntrungannya.
Seharusnya, dua tahun yang lalu, menjadi
saat indah dalam kehidupan
kami,
aku
dan mantan suamiku. Tapi aku memilih hidup terpisah, bukan karena aku tidak
mencintai suamiku. Aku ingin mengembangkan karirku, agar bisa mengumpulkan
banyak uang untuk masa depan kami. Begitupun suamiku, aku berharap dia juga
bekerja keras untuk mewujudkan impian dan masa depan kami kelak. Tapi, begitu
banyak hal yang tak terduga selam dua tahun ini.
Hidup
berjauhan dengan suami, meski setiap hari berkomunikasi; email, facebook, telephone, tidak mampu menghapus
kesepian yang menggigit setiap malamnya. Dan aku masih harus berada dalam kesepian, sampai aku merasa cukup dengan
apa yang aku mliki.
Aku menikah saat usia muda. Keputusan
menikah waktu itu memang menjadi spekulasi yang kurang perhitungan. Seharusnya
aku bersabar danmenamatkan kuliahku lebih dulu. Ingin rasanya ada mesin waktu
yang dapat diputar kembali.
“Ret... Retno!!! Assalamualaikum!!!! Kamu
sudah tidur? Nonton film bareng,
yuk. Ada
film horor baru,
nih.
Punya
Eka,”
terdengar suara panggilan teman dari luar kamar kost.
“Iyo Ret, tangi’e,”
sahut teman yang lain
dengan bahasa jawanya. Kamarku biasa jadi referensi utama untuk menonton film
bersama. Di antara penghuni kost lainnya, hanya kamarku yang memiliki layar komputer
paling lebar.
“Hei! Bangun, Yu Tum!!” teriak Linda. Ia biasa
memanggilku dengan sebutan Yu Tum. Itu lantaran aku berasal dari Gunungkidul, dan pemilik warung makanan khas Gunungkidul
dekat kost kami bernama
Yu Tum.
Pintu
kamar makin bergemuruh
lantaran dipukuli beramai-ramai. Aku
malas menyahut. Aku tutupi telingaku
dengan
bantal, guling dan macam-macam boneka hingga seluruh kepalaku tertutup, berharap suara gedoran itu tak
terdengar. Tapi
toh tak berguna,
aku lupa
kalau
Supri
memiliki duplikat kunci
kamarku.
Perasaanku
mulai
tak enak.
Ah,
ingin sekali semalam ini
aku begadang sendirian.
Entah mengapa, aku merasa sesak di dadaku makin bertambahg berat.
***
Retno terbangun ketika tubuhnya terasa
berat. Seperti ada yang menindih. Retno segera bangun ketika menyadari yang menindih tubuhnya adalah
Supri yang juga sedang tertidur.
“Supri! lagi-lagi Supri,” batinnya dalam hati sembari mengamati sekeliling
kamar, mencari teman-temannya yang tadi malam menonton film bersama. Di kamar
itu, hanya tinggal mereka berdua.
Retno
tak bisa berbuat banyak untuk memindahkan tubuh Supri. Ia terjebak oleh batang
tubuh yang lebih besar dari dirinya. Pelukan Supri atas tubuhnya seolah mengunci
kedua lengan tangannya.
“Huft! Terlalu,” gerutu Retno.
“Umhhh…
Sayang sudah bangun?”
tanya Supri yang masih
ngantuk.
“Pindahkan
tubuhmu dariku,
Pri,”
“Kenapa, Sayang? Akhir-akhir
ini kamu berubah,” sekarang Supri tak lagi ngantuk. Sudah lama ia ingin ngobrol
serius dengan pacarnya itu terkait perubahannya belakang ini.
“Berat, Pri!”
“Iya-iya,
kamu
ini,”
Supri duduk dekat Retno. Retno
pun menghadap Supri. Sejenak mereka dalam diam. Kepala mereka menyimpan berbagai
pertanyaan.
“Nduk,
aku mau kita sudahi hubungan konyol ini,” Retno menyawali perbincangan pagi.
“Sudah
berapa kali,
Beb, kamu ngomong begitu,” jawab Supri yang kini tampak lebih serius. Kantuk
betul-betulhilang sekarang.
“Aku
serius,
Nduk. Jangan
memanggilku lagi dengan sebutan cinta, sayang, beb, atau apalah, aku
ingin kita berubah,”
“Ah,
kamu
ini masih labil,”
“Ya! Kita
masih labil, makanya terjadi seperti ini. Sadarlah, kita sama-sama sudah dewasa.
Sebentar lagi aku akan skripsi. Aku
sudah semester enam, sedangkan kau masih semester empat. Kamu masih punya masa depan dan waktu yang
cukup panjang untuk mencari pengalaman yang banyak di kampus. Apa kau tak malu
mencemari nama almamater? Apa kamu
tak malu tinggal di kost
muslim seperti ini?
Apa kamu tak malu dengan jilbabmu yang lebar? Apa kamu tak malu pada Tuhanmu
yang kamu sembah lima kali sehari? Apa kamu tak malu setiap hari pergi ke
masjid? Kamu
ini guru ngaji anak-anak warga sekitar kampung Sidikan. Apa kau tak...”
“Ssttttt!!! Sudahlah, aku sudah mantap denganmu, Sayang. Apa yang salah dengan
hubungan kita?
Bukankah tidak berdosa tidur bersama sesama muhrim? Bukankah tidak berdosa
menyayangi sesama? Akan kulakukan apapun untuk menghalalkan hubungan kita. Aku
berjanji,” kata Supri mencoba menenangkan Retno.
“Kamu
ini sudah gila, Nduk.
Sadarlah!
kita sama-sama wanita, perempuan tulen. Sewajarnya kita harus mencintai lelaki.
Kamu
jangan menyesali
masa lalumu. Kita
tetap harus bangkit. Aku percaya kamu perempuan yang kuat. Kita belum terlambat
untuk berubah. Kemarin, aku ketemu Mas Pirman, aku juga menemui Mas Leman,”
“Apa!!!” sentak Supri kaget.
“Dengarkan
dulu,
Nduk,”
“Lalu, apa yang kalian bicarakan?”
“Aku
bicara banyak dengan mereka. Mas Leman sudah memiliki seorang putri sekarang. Ia
memberi nama anaknya sama
seperti namamu, Supriana,”
“Apa
maksud dia sebenarnya!”
“Tenanglah
dulu,”
“Tidak! Aku
tak mau lagi mendengar namanya!”
“Nduk,”
“Aku
sakit! Kamu tahu itu?!”
“Iya, aku paham,”
“Enyong
emoh ngeling-eling maning,
Mbak.
Uwis-uwis,
aja diterusna!”
suara Supri makin meninggi. Kalau Supri menggunakan bahasa lokalnya,
berarti ia sudah sangat marah.
“Nduk!
Tapi kamu harus mendengarnya!”
“Emoh! Prek!!!”
“Heh! Dengar! Kamu ini jauh-jauh dari Banjar kuliah
di Yogya, tinggal di kost
Anisa,
Anak teater pula. Kamu
ini cerdas, tapi dalam hal asmara?”
“Mbak!!!” Supri mulai kalut dan meneteskan air mata.
Suasana sejenak menjadi
hening. Retno mencoba menenangkan Supri. Ia raih kepala Supri dan diletakkan di
dadanya. ia membelai-belai rambut Supri.
“Menangislah
kalau itu membuatmu lega.
Tapi
kau harus tetap mendengarnya,”
Supri hanya diam sambil
sesekali sesenggukan.
“Aku
ingin rujuk dengan Mas Pirman,”
“Tidak!!!” sentak Supri melepaskan pelukan Retno.
“Nduk,
dengarkan Mbak!”
“Aku
sungguh-sungguh mencintaimu,
Mbak.”
“Aku
juga mencintaimu,
Nduk. Tapi
kamu
tak sepantasnya jadi pendamping hidupku. Kamu ini pantasnya jadi adikku. Aku
juga sangat sayang padamu.
Aku
ingin masa depanmu menjadi lebih baik,”
“Tidak.
Kamu
tidak tahu
perasaanku,
Mbak. Kamu
tak memahamiku,”
“Aku
paham keadaanmu,
Nduk.
Aku bersalah besar pada
Mas Pirman.
Aku
ingin menebus kesalahanku. Dia menduakanku karena dia tahu hubungan kita. Aku malu
dengannya,
Nduk.
Istri kedua Mas Pirman baru saja meninggal. Aku ingin mengajaknya kembali. Aku
ingin menebus dosaku,”
“Bagaimana
denganku,
Mbak?
Mbak sama saja dengan Mas Leman!
Mempermainkanku! Mbak tidak
ada bedanya dengan pecun!”
“Jaga
bicara kamu, Nduk!”
“Mbak,
aku mencintaimu dengan hormat, aku menyayangimu terlampau istimewa. Maaf, aku
tak paham dengan apa yang ada di hatimu,”
“Kamu yang tak memahami dirimu sendiri.
Mas Leman hanyalah seorang kekasih yang meninggalkanmu karena harus menikah,
itupun karena perjodohan dari orangtuanya. Sedangkan aku, aku ini sudah menikah
dengan Mas Pirman, aku sah sebagai istrinya. Kamu paham, kewajibanku lebih berat ketimbang
kamu yang masih berpikir pacaran hanya untuk bersenang-senang,”
“Pecun!
Aku ini benar-benar sayang pada
Mas
Leman. Sudah dirobek selaput daraku olehnya, sudah hancur masa depanku. Kamu puas! Selama ini kamu tak tahu, bukan? Dia dengan gampangnya
meninggalkanku menikah. Biadab! Patek Celeng!”
“Apa?
Jadi?”
“Apa
kamu
bahagia sekarang?!”
“Maafkan
aku,
Nduk.
Aku tak bermaksud...”
“Lha
memange ngapa enyong ora teyeng nglupakna Mas Leman?”
“Iya, Nduk. Sekarang
Mbak paham apa yang sebenarnya terjadi padamu,”
“Ora
bisa,
Mbak! Ko wes nglarani atine Enyong!”
“Nduk,
dengarkan Mbak. Mbak minggu depan akan menikah lagi,”
Perdebatan
mereka terhenti oleh
suara ketuk pintu dari luar kamar. Supri menangis sejadinya. Retno bingung
musti berbuat apa. Ia segera menenangkan Supri, mendudukkannya di kursi,
menciumi keningnya berkali-kali. Kemudian, segeralah ia menarik napas panjang,
dihembuskannya pelan dan dibukakanlah pintu kamarnya.
“Mas???” kata Retno kaget ketika mengetahui siapa yang mengetuk
pintu.
Pirman
sontak terkejut. Melihat Supri dan Retno berada di dalam kamar yang sama.
“Dik, kamu?” tanya Pirman kepada Supri.
“Mas,
ini tidak seperti apa yang kamu
pikirkan,”
terang Retno.
Supri
bangkit dari tempat duduknya, melangkah
dan memegangi kuat-kuat kedua lengan Retno. Sesekali tatapan matanya ia tujukan ke
Pirman. Lalu Supri
menerawang jauh ke mata
Retno. Cengkramannya semakin erat.
“Aku
akan menikahimu,
Mbak!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar