Sabtu, 24 November 2012

Cerpen Perempuan Tanpa V


Perempuan Tanpa V
Cerpen Rachma Nurjanah


Selama ini, jika ada cinta yang datang padanya, Retno tak pernah melibatkan perasaan. Ia tidak ingin kisah asmara mempengaruhi hidupnya. Tapi, akhir-akhir ini, ia sangat ketakutan. Takut menghadapi kenyataan bila ia benar-benar jatuh cinta. Ini bukan perkara gampang untuk dirampungkan.Retno tidak sedang berhayal, akalnya saja menolak untuk memercayainya.
Ia masih pura-pura terlelap ketika seseorang menciuminya, memeluknya bagai sebuah boneka panda milik gadis remaja yang tak berdaya. Ingin rasanya Retno berontak. Tapi entah apa yang menghalangi keberaniannya. Ia takut. Takut menghadapi perasaannya sendiri.
“Sudah bangunkah, Sayang?” suara itu berbisik mesra di telinga Retno.
Retno diam saja. Hatinya bergemuruh. Malas menjawab. Ia sangat mengenal suara itu, suara Supri.
“Aku bukan lelaki. Tetapi mengapa kau menciumiku? ini tak bisa kupercaya dengan akalku sendiri, batin Retno.
“Aku yakin kau sudah bangun,” ucap Supri kemudian.
Pelukan Supri kepada Retno semakin kuat. Mungkin ia kelewat rindu. Mungkin juga kelewat nafsu. Retno tak mau tau. Ia malas menjawab.
“Sebenarnya, sudah lama aku ingin mencekikmu, menjambakmu, menamparmu sekuat tenaga! Hah, tapi kamu sudah tak waras, jadi buat apa? Buat apa aku meladeni orang gila macam kamu, buang-buang waktu!” dalam hati Retno berkecamuk segala perasaan. “Sungguh, aku ingin berubah. Aku tak mau perkara ini menjadi hal yang wajar. Tapi bagaimana aku merubahnya? Bagaimana aku mengawalinya?” lanjutnya.
“Mengapa kamu diam saja, Sayang? Pagi ini begitu indah, bukalah matamu. Lihatlah dari balik jendela itu, fajar mengajakmu bicara. Enggankah kamu membalasnya?” Supri mengelus rambut Retno dengan ramah.
Retno membayangkan, jauh dibenaknya, memutar otak, mencari-cari, perihal seperti apa yang tepat untuk menyikapi masalahnya.
Tanpa disadari, Retno nampak melamun dan membiarkan matanya terbuka.
“Ah, jadi kamu sebenarnya sudah bangun,” desah Supri meyakinkan dirinya kalau Retno sudah bangun.
“Ya,
“Ada masalah apa, Sayang? Kamu terlihat tak bersemangat.”
“Aku mau mandi. Ada kuliah pagi, jam tujuh, kata Retno sembari bangkit dari tempat tidurnya tapi tertahan oleh pelukan Supri.
“Eh, tak mau cerita dulu?
“Lepaskan pelukanmu, aku mau bangun,
“Kamu tidak sedang marah, kan?”
“Tidak,
“Apa aku semalam terlalu menyakitimu?”
“Tidak juga,
“Lantas?”
“Tak ada apa-apa,
“Sungguh?”
“Ya. Cepat lepaskan!”
“Tidak. Aku masih kepingin memelukmu,
“He!”
“Ah, kamu tambah manis kalau sedang marah, rayu Supri.
Retno melepas pelukan Supri dengan paksa. Ia mengambil handuk yang tergantung di balik pintu kamarnya. Sambil berjalan, ia menyambar gayung beserta isinya; odol, sikat gigi, sabun, sampo, pembersih muka, lulur, dan pelembab kulit yang terletak di pojok kamarnya, dekat pintu keluar menuju kamar mandi.
***
Malam seperti tidak bergerak. Aku terbujur di tengah pembaringan. Sprei bunga berwarna merah jambu seakan membungkusku. Membantu melindungiku dari rasa sepi dan sendiri. Aku sengaja tidak menghidupkan hand phone, seperti biasanya. Pandangan mataku tertuju pada langit-langit kamar. Warna birunya seakan menjadi latar beragam peristiwa yang terjadi dua tahun terakhir ini. Apa yang sebenarnya aku cari? Menjalin hubungan dengan perempuan yang tak jelas juntrungannya.
Seharusnya, dua tahun yang lalu, menjadi saat indah dalam kehidupan kami, aku dan mantan suamiku. Tapi aku memilih hidup terpisah, bukan karena aku tidak mencintai suamiku. Aku ingin mengembangkan karirku, agar bisa mengumpulkan banyak uang untuk masa depan kami. Begitupun suamiku, aku berharap dia juga bekerja keras untuk mewujudkan impian dan masa depan kami kelak. Tapi, begitu banyak hal yang tak terduga selam dua tahun ini.
Hidup berjauhan dengan suami, meski setiap hari berkomunikasi; email, facebook, telephone, tidak mampu menghapus kesepian yang menggigit setiap malamnya. Dan aku masih harus berada dalam kesepian, sampai aku merasa cukup dengan apa yang aku mliki.
Aku menikah saat usia muda. Keputusan menikah waktu itu memang menjadi spekulasi yang kurang perhitungan. Seharusnya aku bersabar danmenamatkan kuliahku lebih dulu. Ingin rasanya ada mesin waktu yang dapat diputar kembali.
“Ret... Retno!!! Assalamualaikum!!!! Kamu sudah tidur? Nonton film bareng, yuk. Ada film horor baru, nih. Punya Eka,” terdengar suara panggilan teman dari luar kamar kost.
Iyo Ret, tangi’e,” sahut teman yang lain dengan bahasa jawanya. Kamarku biasa jadi referensi utama untuk menonton film bersama. Di antara penghuni kost lainnya, hanya kamarku yang memiliki layar komputer paling lebar.
“Hei! Bangun, Yu Tum!!” teriak Linda. Ia biasa memanggilku dengan sebutan Yu Tum. Itu lantaran aku berasal dari Gunungkidul, dan pemilik warung makanan khas Gunungkidul dekat kost kami bernama Yu Tum.
Pintu kamar makin bergemuruh lantaran dipukuli beramai-ramai. Aku malas menyahut. Aku tutupi telingaku dengan bantal, guling dan macam-macam boneka hingga seluruh kepalaku tertutup, berharap suara gedoran itu tak terdengar. Tapi toh tak berguna, aku lupa kalau Supri memiliki duplikat kunci kamarku. Perasaanku mulai tak enak.
Ah, ingin sekali semalam ini aku begadang sendirian. Entah mengapa, aku merasa sesak di dadaku makin bertambahg berat.
***
            Retno terbangun ketika tubuhnya terasa berat. Seperti ada yang menindih. Retno segera bangun ketika menyadari yang menindih tubuhnya adalah Supri yang juga sedang tertidur.
“Supri! lagi-lagi Supri,” batinnya dalam hati sembari mengamati sekeliling kamar, mencari teman-temannya yang tadi malam menonton film bersama. Di kamar itu, hanya tinggal mereka berdua.
Retno tak bisa berbuat banyak untuk memindahkan tubuh Supri. Ia terjebak oleh batang tubuh yang lebih besar dari dirinya. Pelukan Supri atas tubuhnya seolah mengunci kedua lengan tangannya.
“Huft! Terlalu,” gerutu Retno.
“Umhhh… Sayang sudah bangun?tanya Supri yang masih ngantuk.
“Pindahkan tubuhmu dariku, Pri,
“Kenapa, Sayang? Akhir-akhir ini kamu berubah, sekarang Supri tak lagi ngantuk. Sudah lama ia ingin ngobrol serius dengan pacarnya itu terkait perubahannya belakang ini.
“Berat, Pri!”
“Iya-iya, kamu ini,
Supri duduk dekat Retno. Retno pun menghadap Supri. Sejenak mereka dalam diam. Kepala mereka menyimpan berbagai pertanyaan.
Nduk, aku mau kita sudahi hubungan konyol ini, Retno menyawali perbincangan pagi.
“Sudah berapa kali, Beb, kamu ngomong begitu, jawab Supri yang kini tampak lebih serius. Kantuk betul-betulhilang sekarang.
“Aku serius, Nduk. Jangan memanggilku lagi dengan sebutan cinta, sayang, beb, atau apalah, aku ingin kita berubah,
“Ah, kamu ini masih labil,
“Ya! Kita masih labil, makanya terjadi seperti ini. Sadarlah, kita sama-sama sudah dewasa. Sebentar lagi aku akan skripsi. Aku sudah semester enam, sedangkan kau masih semester empat. Kamu masih punya masa depan dan waktu yang cukup panjang untuk mencari pengalaman yang banyak di kampus. Apa kau tak malu mencemari nama almamater? Apa kamu tak malu tinggal di kost muslim seperti ini? Apa kamu tak malu dengan jilbabmu yang lebar? Apa kamu tak malu pada Tuhanmu yang kamu sembah lima kali sehari? Apa kamu tak malu setiap hari pergi ke masjid? Kamu ini guru ngaji anak-anak warga sekitar kampung Sidikan. Apa kau tak...”
“Ssttttt!!! Sudahlah, aku sudah mantap denganmu, Sayang. Apa yang salah dengan hubungan kita? Bukankah tidak berdosa tidur bersama sesama muhrim? Bukankah tidak berdosa menyayangi sesama? Akan kulakukan apapun untuk menghalalkan hubungan kita. Aku berjanji,” kata Supri mencoba menenangkan Retno.
“Kamu ini sudah gila, Nduk. Sadarlah! kita sama-sama wanita, perempuan tulen. Sewajarnya kita harus mencintai lelaki. Kamu jangan menyesali masa lalumu. Kita tetap harus bangkit. Aku percaya kamu perempuan yang kuat. Kita belum terlambat untuk berubah. Kemarin, aku ketemu Mas Pirman, aku juga menemui Mas Leman,
“Apa!!! sentak Supri kaget.
“Dengarkan dulu, Nduk,
Lalu, apa yang kalian bicarakan?”
“Aku bicara banyak dengan mereka. Mas Leman sudah memiliki seorang putri sekarang. Ia memberi nama anaknya sama seperti namamu, Supriana,
“Apa maksud dia sebenarnya!
“Tenanglah dulu,
“Tidak! Aku tak mau lagi mendengar namanya!”
Nduk,
“Aku sakit! Kamu tahu itu?!
“Iya, aku paham,
Enyong emoh ngeling-eling maning, Mbak. Uwis-uwis, aja diterusna! suara Supri makin meninggi. Kalau Supri menggunakan bahasa lokalnya, berarti ia sudah sangat marah.
Nduk! Tapi kamu harus mendengarnya!”
Emoh! Prek!!!
“Heh! Dengar! Kamu ini jauh-jauh dari Banjar kuliah di Yogya, tinggal di kost Anisa, Anak teater pula. Kamu ini cerdas, tapi dalam hal asmara?”
“Mbak!!!” Supri mulai kalut dan meneteskan air mata.
Suasana sejenak menjadi hening. Retno mencoba menenangkan Supri. Ia raih kepala Supri dan diletakkan di dadanya. ia membelai-belai rambut Supri.
“Menangislah kalau itu membuatmu lega. Tapi kau harus tetap mendengarnya,”
Supri hanya diam sambil sesekali sesenggukan.
Aku ingin rujuk dengan Mas Pirman,
“Tidak!!!” sentak Supri melepaskan pelukan Retno.
Nduk, dengarkan Mbak!
“Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Mbak.”
“Aku juga mencintaimu, Nduk. Tapi kamu tak sepantasnya jadi pendamping hidupku. Kamu ini pantasnya jadi adikku. Aku juga sangat sayang padamu. Aku ingin masa depanmu menjadi lebih baik,
“Tidak. Kamu tidak tahu perasaanku, Mbak. Kamu tak memahamiku,
“Aku paham keadaanmu, Nduk. Aku bersalah besar pada Mas Pirman. Aku ingin menebus kesalahanku. Dia menduakanku karena dia tahu hubungan kita. Aku malu dengannya, Nduk. Istri kedua Mas Pirman baru saja meninggal. Aku ingin mengajaknya kembali. Aku ingin menebus dosaku,
“Bagaimana denganku, Mbak? Mbak sama saja dengan Mas Leman! Mempermainkanku! Mbak tidak ada bedanya dengan pecun!”
“Jaga bicara kamu, Nduk!”
“Mbak, aku mencintaimu dengan hormat, aku menyayangimu terlampau istimewa. Maaf, aku tak paham dengan apa yang ada di hatimu,
“Kamu yang tak memahami dirimu sendiri. Mas Leman hanyalah seorang kekasih yang meninggalkanmu karena harus menikah, itupun karena perjodohan dari orangtuanya. Sedangkan aku, aku ini sudah menikah dengan Mas Pirman, aku sah sebagai istrinya. Kamu paham, kewajibanku lebih berat ketimbang kamu yang masih berpikir pacaran hanya untuk bersenang-senang,
“Pecun! Aku ini benar-benar sayang pada Mas Leman. Sudah dirobek selaput daraku olehnya, sudah hancur masa depanku. Kamu puas! Selama ini kamu tak tahu, bukan? Dia dengan gampangnya meninggalkanku menikah. Biadab! Patek Celeng!”
“Apa? Jadi?”
“Apa kamu bahagia sekarang?!
“Maafkan aku, Nduk. Aku tak bermaksud...”
Lha memange ngapa enyong ora teyeng nglupakna Mas Leman?”
 “Iya, Nduk. Sekarang Mbak paham apa yang sebenarnya terjadi padamu,
Ora bisa, Mbak! Ko wes nglarani atine Enyong!
Nduk, dengarkan Mbak. Mbak minggu depan akan menikah lagi,
Perdebatan mereka terhenti oleh suara ketuk pintu dari luar kamar. Supri menangis sejadinya. Retno bingung musti berbuat apa. Ia segera menenangkan Supri, mendudukkannya di kursi, menciumi keningnya berkali-kali. Kemudian, segeralah ia menarik napas panjang, dihembuskannya pelan dan dibukakanlah pintu kamarnya.
“Mas??? kata Retno kaget ketika mengetahui siapa yang mengetuk pintu.
Pirman sontak terkejut. Melihat Supri dan Retno berada di dalam kamar yang sama.
“Dik, kamu?” tanya Pirman kepada Supri.
“Mas, ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan,” terang Retno.
Supri bangkit dari tempat duduknya, melangkah dan memegangi kuat-kuat kedua lengan Retno. Sesekali tatapan matanya ia tujukan ke Pirman. Lalu Supri menerawang jauh ke mata Retno. Cengkramannya semakin erat.
“Aku akan menikahimu, Mbak!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar