Sabtu, 24 November 2012

Cerpen Kartini


KARTINI
Cerpen Rachma Nurjanah

Simbok dengar kamu mau kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Benar begitu Nok?” Rachma mengangguk.
“Iya Mbok,” saya kaget.
“Edan, apa iya kamu mau jadi sastrawan, mau jadi brandalan?”
“Sastrawan bukan brandalan Mbok.”
Saya sama sekali tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang baru saja diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya. Saya bertambah khawatir, cemas, karena Rachma tidak takut bahwa saya tidak setuju.
"Nok, dengarkan Simbok baik-baik. Simbok hanya bicara sekali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi sastrawan atau seniman itu bukan cita-cita. Itu malapetaka. Coba pikirkan, ilmu itu tidak jelas arahnya, paling-paling mentok jadi penulis atau penggiat sastra yang tak jelas penghasilannya. Ini era globalisasi Nok, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi gembel. Mending kamu jadi guru. Guru itu pasti jadi pegawai negeri. Hidupnya enak, kerjanya hanya ngajar, brangkat pagi pulang siang, sorenya masih bisa untuk bertani atau buka usaha. Di kampung, seniman untuk apa coba? Ndak laku, ndak ada duitnya.”
Simbok tahu, hidup guru itu seperti apa?”
“Lihatlah sekeliling kita, apa mereka tidak cukup meyakinkanmu? Pak Sumit, Pak Giman, Pak Gian, sesepuh sekolah-sekolah di Karangmojo, Gunungkidul, sik iso nggowo bocahe dadi guru PNS. Mas Bowo contone, setahun jadi Guru langsung diangkat PNS. Hidupnya sudah enak to Nok.”
“Itu dia Mbok.”
Opo?”
“Guru itu banyak dosanya.”
“Loh, gawean guru itu mulia lho Nok. Guru itu pahlawan, guru berbakti kepada nusa dan bangsa.”
“Guru itu belum tentu bisa jadi pegawai negeri Mbok.”
Ealah,bocah kok dikandani ngeyel.”
“Guru itu hidupnya kejepit. Belum juga kepentok politik, salah didik buku pelajaran yang digunakan untuk mengajar siswa ternyata bercampur kriminalitas. Tugas seabrek-abrek, kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR, tetapi duit nol. Mbok, mana ada guru yang naik Mercy. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani, karena profesi guru itu gersang. Boro-boro sebagai cita-cita, gajinya untuk ongkos jalan saja pas-pasan. Tidak ada guru yang punya deposito Won. Rachma sebagai perempuan, lulus S1 guru, mentok jadi honorer, nikah dan tinggal numpang mertua atau orang tua.”
We lha, itu kan hanya berita Nok. Akal-akalan pemerintah saja untuk menutup-nutupi kasus korupsi.”
“Tapi itu juga fakta Mbok.”
“Pokoknya Simbok tidak setuju kamu kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Pikirkan lagi keputusanmu. Jurusan kui ora cetho gaweane.”
Saya meninggalkan kos anak saya dengan hati panas.
*   *   *   *   *
            Satu bulan kemudian saya kembali menemui anak saya di kamar kosnya. Kali ini, saya tidak datang sendiri. Saya datang dengan suami. Kali ini pula saya tidak datang dengan tangan kosong, saya meminta kepada ayah Rachma (suami saya) untuk membelikan motor Mio model terbaru sebagai hadiah ulangtahunnya. Rachma sangat senang sekali. Tapi saya kembali terpukul ketika saya tanyakan bagaimana perenungannya selama satu bulan ini, jawaban Rachma tetap sama.
            “Saya kan sudah pernah mengatakan saya ingin jadi seniman, kok ditanya lagi, Mbok,” katanya sama sekali tanpa rasah bersalah.
Sekarang saya mulai naik darah. Suami saya jangan dikata lagi. Langsung kencang otot mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Genok disemprotnya habis-habisan. Saya kira Genok pasti sudah dicocok hidungnya oleh oknum tertentu. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Putro, pacarnya. Anak seniman itu yang gayanya semrawut.
“Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?”
“Jadi seniman Pak.”
“Jadi seniman itu ndak punya harapan Nok..... Gusti Allah!!!!!! Apa yang kamu inginkan sebenarnya. Kamu paham tidak apa yang akan terjadi kedepannya!” Suami saya bicara setengah berteriak.
“Paham. Apa salahnya jadi seniman?”
“Seniman iku Saru! Apa kamu dipengaruhi Putro anak gemebel itu. Kamu mau jadi seniman yang rambutnya gondrong semrawut, bajunya compang camping, celananya robek-robek, mukanya dekil, kumel, bau, biasa bergaul dengan gembel, anak jalanan, dan pengemis, kerjaannya jalan-jalan, ndak jelas dapat uang dari mana. Apa kamu mau buat malu Simbok Bapakmu Ha?! Kamu mau membunuh Simbokmu pelan-pelan begitu Nok! Simbokmu ini sudah punya penyakit darah tinggi. Ben yo, mati sekalian ngono!” Saya makin geram.
“Saya tetap mau ambil jurusan itu Mbok.”
Saya langsung menarik tangan suami saya. Mengajaknya pergi begitu saja.
“Mulai bulan ini uang jajan kamu tidak akan Simbok berikan. Ambil kembali kunci motornya Pakne. Motor itu tidak pantas untuk calon guru.”
*   *   *   *   *
Berhari-hari kami dengar kabar Genok sakit karena akhir-akhir ini bekerja untuk menutupi uang sakunya. Saya bertengkar hebat dengan suami. Saya dimarahi habis-habisan. Suami saya lebih membela Genok dan menganggap bahwa saya keterlaluan. Gimana-gimana posisi saya serba salah, saya hanya tidak mau anak saya salah langkah. Pancen ngene iki mbok-mbok nek wis kawatir karo anake.
Tiga bulan kemudian kami kembali menemui Genok. Kali ini saya membawakan banyak buah-buahan, tiwul, gatot, kripik pisang buatan sendiri dan tidak tanggung-tanggung saya kembali membawakan kunci motor, tapi kali ini bukan kendaraan roda dua melainkan roda empat, saya dan suami saya rela menghabiskan tabungan demi untuk merayu Genok.
“Bagaimana Nok,” kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah untuk Simbok."
Genok melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Mbok?"
Saya tersenyum.
“Tiga bulan Simbok rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?”
Genok memandang saya.
“Jadi seniman. Kan sudah saya bilang berkali-kali.”
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya tarik kembali.
“Koe pancen kebangeten Nok...Nok.....”
Genok lantas pergi dari kamarnya. Saya kembali disalahkan. Suami saya makin crewet. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar hebat. Tetapi itu 15 tahun yang lalu. Sekarang saya sudah tua, sudah punya dua cucu dari anak Genok, anak saya satu-satunya. Waktu telah memproses segalanya sedemikian rupa, sehingga segalanya menjadi di luar dugaan. Sekarang Rachma sudah menggantikan hidup saya, memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang seniman besar yang mengimpor barang-barang mewah; lukisan, barang-barang antik dan mengekspor barang-barang kerajinan sampai ke berbagai wilayah manca negara. Ia juga menjadi salah satu penulis ternama yang karya-karyanya mendunia, sebagian karyanya sudah dialih bahasakan ke berbagai bahasa asing; Inggris, Mandarin, Jepang, Cina, dan Korea.
Ia juga seorang guru bagi sekitar 500 orang karyawannya. Guru bagi keluarganya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja mandiri," ucap promotor ketika Rachma mendapat gelar Kartini ke dua.
Sidikan, 21 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar