KARTINI
Cerpen Rachma Nurjanah
“Simbok dengar kamu mau kuliah di jurusan
Sastra Indonesia. Benar begitu Nok?” Rachma
mengangguk.
“Iya
Mbok,” saya kaget.
“Edan,
apa iya kamu mau jadi sastrawan, mau jadi brandalan?”
“Sastrawan
bukan brandalan Mbok.”
Saya sama sekali tidak
percaya dengan apa yang saya dengar. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa
yang baru saja diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya. Saya bertambah khawatir, cemas, karena
Rachma tidak takut bahwa saya tidak setuju.
"Nok, dengarkan Simbok baik-baik. Simbok hanya bicara sekali saja.
Setelah itu terserah kamu! Menjadi sastrawan atau seniman itu bukan cita-cita. Itu
malapetaka. Coba pikirkan, ilmu itu tidak jelas arahnya, paling-paling mentok
jadi penulis atau penggiat sastra yang tak jelas penghasilannya. Ini era
globalisasi Nok, alias persaingan
bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi gembel. Mending kamu
jadi guru. Guru itu pasti jadi pegawai negeri. Hidupnya enak, kerjanya hanya
ngajar, brangkat pagi pulang siang, sorenya masih bisa untuk bertani atau buka
usaha. Di kampung, seniman untuk apa coba? Ndak
laku, ndak ada duitnya.”
“Simbok tahu, hidup guru itu
seperti apa?”
“Lihatlah sekeliling
kita, apa mereka tidak cukup meyakinkanmu? Pak Sumit, Pak Giman, Pak Gian,
sesepuh sekolah-sekolah di Karangmojo, Gunungkidul, sik iso nggowo bocahe dadi guru PNS. Mas Bowo contone, setahun jadi Guru langsung diangkat PNS. Hidupnya sudah
enak to Nok.”
“Itu dia Mbok.”
“Opo?”
“Guru itu banyak
dosanya.”
“Loh, gawean guru itu mulia lho Nok. Guru itu pahlawan, guru berbakti
kepada nusa dan bangsa.”
“Guru itu belum tentu
bisa jadi pegawai negeri Mbok.”
“Ealah,bocah kok dikandani ngeyel.”
“Guru itu hidupnya kejepit. Belum juga kepentok politik,
salah didik buku pelajaran yang digunakan untuk mengajar siswa ternyata
bercampur kriminalitas. Tugas seabrek-abrek, kita tidur, dia masih saja
utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR, tetapi duit nol. Mbok, mana ada guru yang naik Mercy. Di
desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani, karena profesi guru
itu gersang. Boro-boro sebagai
cita-cita, gajinya untuk ongkos jalan saja pas-pasan. Tidak ada guru yang punya
deposito Won. Rachma sebagai
perempuan, lulus S1 guru, mentok jadi honorer, nikah dan tinggal numpang mertua
atau orang tua.”
“We lha, itu kan hanya berita Nok.
Akal-akalan pemerintah saja untuk menutup-nutupi kasus korupsi.”
“Tapi itu juga fakta Mbok.”
“Pokoknya Simbok tidak setuju kamu kuliah di
jurusan Sastra Indonesia. Pikirkan lagi keputusanmu. Jurusan kui ora cetho gaweane.”
Saya meninggalkan kos
anak saya dengan hati panas.
* * * * *
Satu bulan kemudian saya kembali
menemui anak saya di kamar kosnya. Kali ini, saya tidak datang sendiri. Saya
datang dengan suami. Kali ini pula saya tidak datang dengan tangan kosong, saya
meminta kepada ayah Rachma (suami saya) untuk membelikan motor Mio model
terbaru sebagai hadiah ulangtahunnya. Rachma sangat senang sekali. Tapi saya
kembali terpukul ketika saya tanyakan bagaimana perenungannya selama satu bulan
ini, jawaban Rachma tetap sama.
“Saya kan sudah pernah mengatakan saya ingin jadi seniman,
kok ditanya lagi, Mbok,” katanya sama
sekali tanpa rasah bersalah.
Sekarang saya mulai
naik darah. Suami saya jangan dikata lagi. Langsung kencang otot mukanya. Ia
tak bisa lagi mengekang marahnya. Genok
disemprotnya habis-habisan. Saya kira Genok
pasti sudah dicocok hidungnya oleh oknum tertentu. Tidak ada orang yang bisa
melakukan itu, kecuali Putro, pacarnya. Anak seniman itu yang gayanya semrawut.
“Coba jawab untuk yang
terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?”
“Jadi seniman Pak.”
“Jadi seniman itu ndak punya harapan Nok..... Gusti Allah!!!!!! Apa yang kamu inginkan sebenarnya. Kamu
paham tidak apa yang akan terjadi kedepannya!” Suami saya bicara setengah
berteriak.
“Paham. Apa salahnya
jadi seniman?”
“Seniman iku Saru! Apa kamu dipengaruhi Putro
anak gemebel itu. Kamu mau jadi seniman yang rambutnya gondrong semrawut,
bajunya compang camping, celananya robek-robek, mukanya dekil, kumel, bau,
biasa bergaul dengan gembel, anak jalanan, dan pengemis, kerjaannya
jalan-jalan, ndak jelas dapat uang
dari mana. Apa kamu mau buat malu Simbok
Bapakmu Ha?! Kamu mau membunuh Simbokmu
pelan-pelan begitu Nok! Simbokmu ini sudah punya penyakit darah
tinggi. Ben yo, mati sekalian ngono!”
Saya makin geram.
“Saya tetap mau ambil
jurusan itu Mbok.”
Saya langsung menarik
tangan suami saya. Mengajaknya pergi begitu saja.
“Mulai bulan ini uang
jajan kamu tidak akan Simbok berikan.
Ambil kembali kunci motornya Pakne.
Motor itu tidak pantas untuk calon guru.”
* *
* * *
Berhari-hari kami
dengar kabar Genok sakit karena
akhir-akhir ini bekerja untuk menutupi uang sakunya. Saya bertengkar hebat
dengan suami. Saya dimarahi habis-habisan. Suami saya lebih membela Genok dan menganggap bahwa saya
keterlaluan. Gimana-gimana posisi saya serba salah, saya hanya tidak mau anak
saya salah langkah. Pancen ngene iki
mbok-mbok nek wis kawatir karo anake.
Tiga bulan kemudian
kami kembali menemui Genok. Kali ini
saya membawakan banyak buah-buahan, tiwul, gatot, kripik pisang buatan sendiri
dan tidak tanggung-tanggung saya kembali membawakan kunci motor, tapi kali ini
bukan kendaraan roda dua melainkan roda empat, saya dan suami saya rela
menghabiskan tabungan demi untuk merayu Genok.
“Bagaimana Nok,” kata
saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi
kamu juga harus memberi hadiah untuk Simbok."
Genok melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Mbok?"
Saya tersenyum.
“Tiga bulan Simbok rasa sudah cukup lama buat kamu
untuk memutuskan. Jadi, singkat saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?”
Genok memandang saya.
“Jadi seniman. Kan
sudah saya bilang berkali-kali.”
Kunci mobil yang sudah
ada di tangannya saya tarik kembali.
“Koe pancen kebangeten Nok...Nok.....”
Genok lantas pergi dari
kamarnya. Saya kembali disalahkan. Suami saya makin crewet. Akhirnya di bekas
kamar anak kami itu, kami bertengkar hebat. Tetapi itu 15 tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua, sudah punya dua cucu dari
anak Genok, anak saya satu-satunya. Waktu
telah memproses segalanya sedemikian rupa, sehingga segalanya menjadi di luar
dugaan. Sekarang Rachma sudah menggantikan hidup saya, memikul beban keluarga.
Ia menjadi salah seorang seniman besar yang mengimpor barang-barang mewah;
lukisan, barang-barang antik dan mengekspor barang-barang kerajinan sampai ke
berbagai wilayah manca negara. Ia juga menjadi salah satu penulis ternama yang
karya-karyanya mendunia, sebagian karyanya sudah dialih bahasakan ke berbagai
bahasa asing; Inggris, Mandarin, Jepang, Cina, dan Korea.
Ia juga seorang guru
bagi sekitar 500 orang karyawannya. Guru bagi keluarganya. Guru juga bagi
anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan
negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja mandiri," ucap promotor
ketika Rachma mendapat gelar Kartini ke dua.
Sidikan, 21 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar